Ketika Cinta Tak Perlu Dibicarakan...
Seorang teman saya yang berprofesi
sebagai wartawan senior di dunia perfilman 'menantang' saya untuk menonton film '
What They Don't Talk About When They Talk About Love'. Dia mengeluh dan merasa
bodoh karena tidak bisa mengerti cerita film tersebut.
Terpacu dengan
adanya nama besar aktor yang ikut mengambil peran dalam film itu, sayapun
mengajak dua orang teman untuk ikut menonton bersama saya. Sayangnya saya hanya
berhasil mempengaruhi satu saja. Teman saya yang satu menolak dengan alasan
kejauhan karena bioskop yang masih memutar film itu memang tidak lagi bioskop
biasa tempat kami biasa pergi. Ya sudahlah, yang penting saya masih punya teman
nonton bareng :)
Dengan terburu-buru saya dan teman berangkat ke bioskop,
sampai-sampai kami tidak sempat makan siang lagi karena datang pas-pasan
menjelang jam putar film. Namun kami cukup terkejut karena ternyata kami
merupakan pembeli pertama. Oalah! Untuk itu demi kenyamanan menonton, sebelum
masuk bioskop, saya sudah memodali diri saya dengan berbagai makanan mulai dari
yang ringan hingga yang mengenyangkan, serta 2 botol minuman. Teman saya pun
melakukan hal yang sama.
Film yang dimaksudkan untuk mengisahkan tentang
keindahan dan kekuatan cinta di dalam dunia mereka yang mempunyai keterbatasan
indera ini, terasa lambat dalam bertutur dan seringkali mengalami berbagai
pengulangan adegan. Barangkali agar penonton dapat ikut merasakan kebosanan akan
rutinitas yang dijalani tokoh cerita dimana hidup mereka berada dalam
keterbatasan kemampuan melihat atau bicara. Itulah sebab tak hentinya saya
merasa bersyukur atas kesempurnaan ragawi yang Allah anugerahkan kepada saya.
Alhamdulillah hingga film berakhir, saya tidak terlalu ikut larut dalam
kebosanan karena melimpahnya cemilan yang menemani saya.
Namun hingga
akhir cerita film, berbagai tanda tanya yang muncul di kepala tidak terjawab dan
masih tersisa. Ada beberapa hal yang mengusik benak saya. Sebegitu percayanyakah
pengurus yayasan panti kepada anak-anak penghuninya sehingga mereka tidak perlu
melakukan pengawasan (terutama bila malam tiba)? Mereka yang terbilang remaja
belia terlihat begitu bebas di dalam keterbatasan indera, untuk menyalurkan dan
mengekspresikan perasaan cinta dan sukanya. Sangat disayangkan adanya adegan
yang terasa tidak mendidik dan mengesampingkan moralitas diumbar begitu saja dan
justru dilakukan di dalam lingkungan pengajaran. Agak aneh rasanya memahami
bagaimana mungkin seorang ibu dari salah satu anak penghuni panti, yang
dikesankan berasal dari keluarga berada, mempercayakan pendidikan putri
tercintanya kepada yayasan yang tidak mengindahkan moralitas seperti itu? Di
dalam lingkungan panti, remaja itu dapat bebas merokok dan bercinta ala orang
dewasa. Ironis sekali...
Saya juga menyimpan rasa penasaran mengapa film
ini memerlukan untuk menggunakan bahasa asing yang terlalu panjang sebagai
judulnya. Supaya lebih keren dan terkesan bonafid kah? Padahal bila ingin
disederhanakan, kita pun mungkin masih dapat lebih memahami...
Akhirnya... Saya mengerti cinta tidak perlu dibicarakan, tetapi
dirasakan oleh hati. Jadi ketika hati sudah bicara cinta, tidak ada lagi yang
mampu membatasinya. Virus cinta bisa menyerang siapa saja... Termasuk remaja
yang normal fisiknya maupun mereka yang hidup dalam keterbatasan indera. Cinta
tetaplah indah walaupun berada di dalam kegelapan atau di dalam
kebisuan...
Apakah saya sudah dapat dianggap memahami dan menangkap isi
cerita film ini? Atau haruskah sayapun termasuk ke dalam golongan orang-orang
frustrasi seperti teman wartawan itu, yang merasa begitu bodoh hingga tak mampu
mengejar kejeniusan sang penulis cerita yang merangkap sebagai sutradara?