Friday, May 10, 2013

Kolom Curhat - Resensi

Ketika Cinta Tak Perlu Dibicarakan...

Seorang teman saya yang berprofesi sebagai wartawan senior di dunia perfilman 'menantang' saya untuk menonton film ' What They Don't Talk About When They Talk About Love'. Dia mengeluh dan merasa bodoh karena tidak bisa mengerti cerita film tersebut.

Terpacu dengan adanya nama besar aktor yang ikut mengambil peran dalam film itu, sayapun mengajak dua orang teman untuk ikut menonton bersama saya. Sayangnya saya hanya berhasil mempengaruhi satu saja. Teman saya yang satu menolak dengan alasan kejauhan karena bioskop yang masih memutar film itu memang tidak lagi bioskop biasa tempat kami biasa pergi. Ya sudahlah, yang penting saya masih punya teman nonton bareng :)

Dengan terburu-buru saya dan teman berangkat ke bioskop, sampai-sampai kami tidak sempat makan siang lagi karena datang pas-pasan menjelang jam putar film. Namun kami cukup terkejut karena ternyata kami merupakan pembeli pertama. Oalah! Untuk itu demi kenyamanan menonton, sebelum masuk bioskop, saya sudah memodali diri saya dengan berbagai makanan mulai dari yang ringan hingga yang mengenyangkan, serta 2 botol minuman. Teman saya pun melakukan hal yang sama.

Film yang dimaksudkan untuk mengisahkan tentang keindahan dan kekuatan cinta di dalam dunia mereka yang mempunyai keterbatasan indera ini, terasa lambat dalam bertutur dan seringkali mengalami berbagai pengulangan adegan. Barangkali agar penonton dapat ikut merasakan kebosanan akan rutinitas yang dijalani tokoh cerita dimana hidup mereka berada dalam keterbatasan kemampuan melihat atau bicara. Itulah sebab tak hentinya saya merasa bersyukur atas kesempurnaan ragawi yang Allah anugerahkan kepada saya. Alhamdulillah hingga film berakhir, saya tidak terlalu ikut larut dalam kebosanan karena melimpahnya cemilan yang menemani saya.

Namun hingga akhir cerita film, berbagai tanda tanya yang muncul di kepala tidak terjawab dan masih tersisa. Ada beberapa hal yang mengusik benak saya. Sebegitu percayanyakah pengurus yayasan panti kepada anak-anak penghuninya sehingga mereka tidak perlu melakukan pengawasan (terutama bila malam tiba)? Mereka yang terbilang remaja belia terlihat begitu bebas di dalam keterbatasan indera, untuk menyalurkan dan mengekspresikan perasaan cinta dan sukanya. Sangat disayangkan adanya adegan yang terasa tidak mendidik dan mengesampingkan moralitas diumbar begitu saja dan justru dilakukan di dalam lingkungan pengajaran. Agak aneh rasanya memahami bagaimana mungkin seorang ibu dari salah satu anak penghuni panti, yang dikesankan berasal dari keluarga berada, mempercayakan pendidikan putri tercintanya kepada yayasan yang tidak mengindahkan moralitas seperti itu? Di dalam lingkungan panti, remaja itu dapat bebas merokok dan bercinta ala orang dewasa. Ironis sekali...

Saya juga menyimpan rasa penasaran mengapa film ini memerlukan untuk menggunakan bahasa asing yang terlalu panjang sebagai judulnya. Supaya lebih keren dan terkesan bonafid kah? Padahal bila ingin disederhanakan, kita pun mungkin masih dapat lebih memahami...

Akhirnya... Saya mengerti cinta tidak perlu dibicarakan, tetapi dirasakan oleh hati. Jadi ketika hati sudah bicara cinta, tidak ada lagi yang mampu membatasinya. Virus cinta bisa menyerang siapa saja... Termasuk remaja yang normal fisiknya maupun mereka yang hidup dalam keterbatasan indera. Cinta tetaplah indah walaupun berada di dalam kegelapan atau di dalam kebisuan...

Apakah saya sudah dapat dianggap memahami dan menangkap isi cerita film ini? Atau haruskah sayapun termasuk ke dalam golongan orang-orang frustrasi seperti teman wartawan itu, yang merasa begitu bodoh hingga tak mampu mengejar kejeniusan sang penulis cerita yang merangkap sebagai sutradara?